Minggu, 20 Maret 2011

Origami Kasih Sayang -1-

Ku hirup dengan perlahan hembusan angin yang begitu menyejukkan. Ku buka mataku, hamparan perkebunan teh yang membentang, memenuhi seluruh sudut pandangku. Hmm.. akankah ku rasakan ini lagi? Kapan kah itu? Tanya yang terkadang sulit ku jawab dengan apa yang sedang ku jalani saat ini. Entahlah.. mungkin besok, mungkin nanti, yang terpenting saat ini ku masih bisa tersenyum, merasakan kedamaian, merasakan betapa Tuhan masih sangat menyayangiku. Sungguh sangat menyayangiku.
“Ini.. minumlah.. “
Suara itu mengagetkanku. Dia, datang dengan segelas teh manis hangat, kini duduk cukup jauh disampingku, mesti suara kami masih bisa saling terdengar satu sama lain. Teh manis hangat, minuman kegemaranku, apalagi disaat suasana cukup dingin dan berkabut, sungguh semakin membuat nyaman menikmati indahnya alam yang Tuhan ciptakan.
“Neng..”
“Ya..?”
Ku menoleh tak mengerti, sembari tersenyum..
“Neng seneng a ajak kesini?”
Hmm.. Ku balas dengan senyuman lebar dan mengangguk.
Ku kembali memandang alam sekitar. Saat ini, tidak ada lagi yang aku fikirkan selain merasakan betapa aku jarang untuk bersyukur, bersyukur atas diri ini yang masih bisa bernafas dengan baik, tanpa kekurangan oksigen sedikitpun, bersyukur merasakan kebahagiaan yang tiada terkira dengan hadirnya orang-orang di sekelilingku, yang selalu memberiku semangat, menjagaku, mengingatkanku, ooh, ku teringat keluargaku dan dia, yang kini duduk disampingku. Ku melihat senyumnya, balasan dari senyumanku. Itu sungguh sudah cukup untukku, untukku saat ini yang sudah tak berani bermimpi dan berharap apapun lagi untuk hidupku, selain mampu bersyukur dengan segala yang telah Tuhan tentukan untukku.
“Neng..”
“hmm..” ku kembali menoleh dan tersenyum. Dan ternyata, apa yang dia sodorkan untukku?
“Bersediakah neng menjadi istri aa?”
Ku tersentak, sebuah kotak putih, berisi cincin sederhana bermotif kupu-kupu yang begitu indah. Sangat terlihat indah dengan senyuman yang ia berikan dan keyakian kata-kata yang ia ungkapkan. Sungguh aku tertegun, tak mampu berkata apapun. Setelah semua yang sudah ia ketahui. Setelah semua tangisan yang sudah sering dia lihat. Setelah banyak keluhan yang sering ku ucapkan. Setelah setiap kelelahan yang tidak mampu ku obati sendiri dan ia selalu besedia membantuku. Semua itu, setelah semua itu. Sungguh ku tak menyangka ia masih berani dan mau untuk mungungkapkan ini semua. Mesti ku tahu, aku pun sangat menyayanginya, tapi tidak, tidak pernah bermimpi hingga seperti ini. Karena ku tahu dia lebih berhak dengan kebahagiaannya yang lain. Dengan kebahagiaan yang lebih utuh, lebih sempurna. Buakan denganku, bukan.
Ku terdiam cukup lama dan tetes airmataku tak mampu untuk ku bending lagi. Tanpa ku sadari, ku terbangun dari lamunankusaat ia memanggilku.
“Neng? Aa salah salah bicara ya? Aa nggak sepantasnya bilang ini ya ma neeng? Maaf..”
Ku tertegun dan terkaget mengatakan, hingga terucap “nggak..! ngga ada yang salah dari aa, neng yang semestinya memohon maaf ke aa, semua ngga kan jadi kayak gini kalau neng ngga kenal dan muali deket deket ma aa, maaf..”
Ku tertunduk dan sungguh bingung dengan apa yang tiba-tiba terjadi saat ini. Apa yang semestinya terucap, apa yang semestinya berlaku. Di balik rasa sayangku padanya, rasa yang teramat sayang hingga ku sendiri tidak menginginkan ia berada terus bersamaku, melihat aku yang semakin tidak mampu berbaut apapun, melihat aku yang terus berjuang dengan semua ini. Tapi, mungkinkah dia mengerti? Hm..
“A,, yakin? Setelah semua yang sudah a ketahui.. dengan semua yang sudah a hadapi..?”
Aku tertunduk, sungguh tidak berani menatap wajahnya. Ku tertunduk dan air mata terus menetes, karena aku bingung dan juga terharu..
“Tidak pernah a seyakin dan semantap ini, neng. Semua sudah coba a pertimbangkan dengan matang. Neng tahu sendiri berapa lama a menjaga ini semua?”
Kata-kata itu, sungguh semakin menyayat hatiku, semakin membuat aku bergelut dengan hati nuraniku. Benarkah aku harus menerimanya? Tidakkah aku begitu egois jika benar-benar menerimanya? Tidakkah begitu kejam jika aku menerimanya? Sungguh, ku bingung dengan semua ini..
“Tapi a, a lebih berhak berbagia dengan seseorang yang bisa menjaga a dengan sempurna. Bisa berbagia dengn keluarga yang utuh, mendengar suara anak kecil kelak, yang belari kesana kemari. Bermain degan riang. Bersama-sama berjuang demi keluarga. Semua itu, a berhak mendapatkan semua itu..dan..”
Seketika dia memotong..
“Adilkah a pada diri a sendiri, jika a menjalani hidup dengan seseorang yang bisa memberikan semua itu, tapi a tidak mencintainya? Tidak menyayanginya? Itukah rasa bahagia yang sesungguhnya? Sungguh bukan, bukan itu yang a cari,, bukan.. setiap manusia memiliki jodohnya tersendiri, Allah telah memilihkannya untuk setiap hamba-Nya. Niat menikah, tidak sebatas dan sesempit itu neng. Kebahagiaan jiwa tidak bisa terbayar dengan apapun tanpa keikhlasan dan kebesaran hati.”
Ku terdiam, sungguh aku semakin bingung harus berkata apa. Semua hal ini terasa begitu sesak di dadaku dan terasa menyudutkanku pada pilihan yang membingungkan. Hatiku berkata ku memang mencintainya, tapi terasa sangat sulit untukku menerima semua itu. Jika memang harus tetap menerimanya… apa yang terjadi padaku.. mengapa lidahku tiba-tiba kelu untuk berucap, Ya Rabb, pilihkan yang terbaik untukku. Ku masih terdiam.. hingga..
“Neng, haruskah a menghancurkan niat suci yang terpatri. Salahkah a mencintai seseorang yang hanya dengan senyumannya a bisa merasakan kebahagiaan itu. Yang hanya dengan celotehannya bisa membuat a merasakan kenyamanan? Salahkah a mencintai seseorang yang bisa selalu memberikan ketenangan untuk setiap kegundahan hati? Salahkah a mencintai seseorang yang begitu mencintai Tuhannya hingga ia selalu berusaha bersyukur untuk setiap kelelahan yang ia rasakan? Salahkah a mencintai seseorang yang selalu membuat a merasa beruntung karenanya? Salahkah akan semua itu? Salahkah a mencintainya katena hati ini yang memilih? Salahkah a mencintainya kerena kecantikan akhlaknya yang bergitu mempesona? Kebaikan hatinya yang selalu membuat hati ini iri untuk selalu mengenalinya lebih dalam dan membahagiakannya? Salahkah untuk semua itu? Salah kah?”
Ku menghela nafas panjang, dan tangisanku semakin terisak. Sungguh aku bingung dengan keadaan ini.
“Neng ngga yakin ma aa? Benar?”
Suaranya yang semakin merendah, serak dan aku tahu dia sedikit kecewa dengan lamanya aku menjawab, sikapku yang mengutarakan seakan-akan begitu aku ragu padanya.
“A, sunguuh neng menyayangi a dengan segala hal yang ada pada diri a. tidak pernah neng merasakan ini. Ini kala pertama niat suci itu muncul dan a orang pertama yang terpatri dalam hati ini untuk menjalani itu, hingga Tuhan mentakdirkan neng untuk merasakan semua ini. Sungguh neng sangat sedih dengan semua ini. Mengapa neng harus mencintai a dengan semua yang telah terjadi? Mengapa a yang terlalu baik harus bertemu dengan neng yang hanya mampu memberikan kesedihan dengan semua ini. A yang terlalu baik untuk neng.. sungguh terlalu baik. A yang begitu baik tidak sebanding dengan neng dan segala yang sedang neng alami saat ini. A berhak untuk lebih bahagia.. berhak lebih bahagia dari semua ini. Mesti dalam hati neng yanga paling dalam, sempat ada sedikit harapan, neng bisa menjalani hudup dengan a, selamanya, selamanya yang neng bisa. Neng inginkan semua itu.. sungguh neng sangat memimpikan hal itu. Dalam kesabaran.. tangisan.. doa.. senyuman.. kerinduan.. semua itu neng jaga dengan sebaik mungkin.. hingga saat ini.. tapi, ada sisi lain di hati neng yang tidak berkata iya dengan semua itu. Neng yang mencintai a, menyayangi a, karena begitu sayangnya, neng tidak mungkin menerima a untuk menjadi suami neng. Sungguh, neng merasa, teramat kejam neng untuk semua itu, neng sedih.. bingung.,. dan entah apa yang mesti neng lakukan..”
Ku berkata dengan terisak.. sungguh termat berat ku katakan semua itu.. ingin rasanya saat itu ku memeluk seseorang, untuk sekedar menjadi sandaranku dan mengusap kepalaku. Sungguh ku merindukan itu..
“Neng salah.. sungguh salah.. apa a salah juga ingin terus berusaha membuat satu hati terus tersenyum dan berbahagia dengan apa yang bisa a lakukan? Salah kah?”
Tanganku mengepal dengan sagat keras, sakit dikepalaku tiba-tiba menjadi. Ya Tuhan.. haruskah saat ini semua itu ku rasakan. Kepalaku serasa degitu diperas, sungguh sangat sakit hingga bagian perutku pun ikut berkontraksi. Pusing.. linglung.. kata-katanya yang terus menggumam tak jelas aku dengarkan lagi.. pemandangan kebun teh serasa menjadi buram. Badanku mulai lemas.. dan kepalan tanganku yang menahan sakit mulai semakin kencang dan… meneteslah darah dari hidungku.. aku lemas.. dan.. gelap.
***
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi setelah itu. Disaat ku terbangun, ku sudah berada disuatu ruangan putih.. lampu yang terang menyapa mataku dan menjelaskan betapa ku begitu lemas dan tak tahu berada dimana. Suara ibu, ku tahu itu suara ibu, dia mengusap kepala dan mengucapkan puji syukur karena aku telah terbngun.
“Teteh dimana, bu?”
“Di rumah sakit, sayang.. tadi teteh pingsan. A Bima langsung bawa teteh ke rumah sakit dengan ambulance. Apa yang kerasa sekarang? Masih pusing?”
Ibu berusaha tersenyum dan matanya yang begitu merah, seperti yang sudah menangis.. hmm ku berusaha membalas senyumannya mesti hatiku sakit melihat ibu nampak seperti itu..
Ku melihat ke sekeliling, tak ada siapapun, namun barang begitu banyak. Tas yang berisi baju dan makanan-makanan yang terletak di atas meja. Dan ku menemukan tas dia, dia masih ada disini, tapi dimana dia?
“oh ia, a Bima lagi shalat ashar dulu, entar juga kesini..” ibu berkata tiba-tiba, mungkin melihat ku menatap kea rah tas aa.
Tangan kananku yang bertemu dengan jarum, sungguh terasa pegal dan tidak mampu ku gerakkan sesukaku. Badanku terasa remuk, pegal luar biasa yang kurasa, dan mataku.. perih.. perih karena mungkin baru berhenti dari deraian air mataku sebelumnya.
Bayangan dari jendela menjawab rasa rinduku, akhirnya dia datang. Membuka pintu dan langsung menatapku. Dia menatapku sejenak. Aku tertunduk, sungguh merasa bersalah dan malu. Entah mengapa, apa yang sebenarnya aku rasakan sat ini, ku tak mengerti. Ia masuk dan menyapa ibu. Membawakan sebuah minuman segar untuk ibu dan mebawakan kue blackforest kesukaanku. Memberikannya pada ibu dan ibu menyodorkannya padaku.
“Mau sayang?”
“Nanti saja..” ku tersenyum dan memberanikan diri untuk menatap aa.
Dia melihatku dan tiba-tiba tersenyum. Sangat manis. Ku rasakan ketenangan itu, ketenangan yang tiba2 muncul dan menghilangkan keresahanku akan dirinya.
“Dah bangun dari tadi bu?”
“Oh.. belum lama ko.. 10 menit sebelum a bima datang nampaknya.”
“Oo.. gimana sekarang? Apa yang kerasa?”
Dia bertanya padaku sembari tersenyum, ku tak mampu banyak berkata, hanya tersenyum.. dan tersenyum,.. menyimpan kesedihan yang masih ku rasa sebenarnya. Kegalauan yang hadir dalam hatiku.,. ku belum menjawab tawarannya untuk menikah.. hm..
“Ibu mau shalat ashar dulu atuh y? Nitip dulu y a sebentar.”
“oh iya bu..”
Ia menggangguk dengan sopan dan melihat ibu menghilang di balik pintu, kulihat perubahan wajahnya.
“Makan y kue’y?”
Dia memotong sedikit kue itu dan menyuapkannya untukku.
“ayo…” dia menyodorkan sesendok potongan kue kecil ke mulutlku..
Ku membuka mulutku perlahan dan memakannya..
“Neng.. maafin a y..”
Sembari terus menyuapi ku.. dia berkata..
“Maafin a yang mungkin mengejutkan neng dan lancang meminta neng untuk menerima tawaran a untuk menikahi neng. Mungkin a mang ngga selayaknya seperti itu. Mungkin a mang ngga pantas untuk seorang neng yang ….”
Ku lamgsung berkata, “cukup..”
Hatiku kalut., sungguh kalut. Kenapa tiba2 ku merasakan kesedihan yang teramat dalam. Tidak mampu ku tahan lagi. Sangat sedih dan teriris rasanya dia mengatakan itu semua. Semudah itukah ia merubah fikirannya? Semudah itu kah ia menyerah dan tidak mau terus memperjuangkannya? Semudah itukah? Semuadah itukah?
Aku tak mampu berkata, ku menangis kembali. Dan itu, hanya itu yang bisa aku lakukan.
“A, pergilah.. jangan menginap untuk malam ini. Tapi tinggal cincin itu disini.. besok pagi, datanglah kembali.. dan insyaAllah, besok akan neng utarakan jawaban neng apa. Terimakasih untuk semua ini. Terimasih..”
Dadaku terasa sesak, menahan rasa yang ingin sekali ku utarakan. Sungguh aku ingin menangis sejadi-jadinya saat ini. Di hadapannya dan mengatakan, ku sangat mencintaimu, lebih dari apa yang ia fikirkan. dan keinginan bersama, tidak pernah hilang dalam benakku. Selamanya, tapi, mengapa ia semudah itu mengatakan untuk menyerah..? pergilah sejenak. Biarkan aku sendiri..
Dia pun pergi, pamitan setelah ibu datang kembali, dan cincin itu, akan menjawab semuanya, esok hari.. esok hari..

Bersambung>>>>>>>>>>> ^.^v

Edumedia, GS11
Sabtu, 05 maret 2011
00.09 WIB

Sobat, penasaran ngga? Hhe ini hanya cerita fiksi belaka. Maaf kalo ada kesamaan cerita atau nama, ^-^v
Makasih dah mau baca, mohon untuk di koreksi y.. apa aja yang mesti di kurangi atau di tambah, lagi belajar nulis.. semoga ada hikmah dan manfaatnya, amiin.. ditunggu ya.. ^_^

2 komentar:

Admin mengatakan...

hmm... terus berkarya n happy blogging :D

Nur Syifa' mengatakan...

hhe.. iya.. makasih.. ^^